Jakarta – Pendidikan merupakan fondasi yang fundamental dalam konsep bernegara. Tentu, pendidikan menjadi barang wajib yang secara konstan perlu diperhatikan sebagai variabel penting dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, berkompeten, dan memiliki daya saing global. Tetapi, apa jadinya jika pendidikan berubah fungsi sebagai episentrum anomie yang terus menerus melanggengkan praktik-praktik penyimpangan?
Hal ini bukan hanya narasi yang sifatnya wacana, tetapi telah terjadi secara struktural dan kultural di pendidikan kita. Bagaimana tidak, baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepada Rektor Universitas Lampung (Unila) terkait kasus suap penerimaan mahasiswa baru tahun 2022. Tentu hal ini membuat citra pendidikan –utamanya perguruan tinggi– menjadi semakin keruh dan terdegradasi dari nilai-nilai substansial pada pendidikan itu sendiri.
Pendidikan adalah kegiatan mulia yang yang berorientasi pada proses transmisi ilmu dengan tujuan mencerdaskan masyarakat. Namun, bukannya mencerdaskan masyarakat, ternyata praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) ini tidak hanya terjadi pada kasus Rektor Unila ini saja. Sebelumnya, ada kasus korupsi pengadaan dan instalasi teknologi informasi di Universitas Indonesia yang menetapkan Tafsir Nurchamid sebagai tersangka pada tahun 2014.
Dari dua kasus ini, ada semacam disorientasi fungsional dari perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan yang bersih, netral, dan berpegang teguh pada asas-asas pendidikan menjadi lahan subur dari langgengnya proses-proses KKN di berbagai proses birokrasi dan teknis.
Anomie
Dalam konsep sosiologi, peristiwa yang terjadi dewasa ini merupakan anomie. Menurut sosiolog Robert K. Merton, anomie adalah ketidakselarasan antara cultural goals dan institusional means yang berakibat pada lahirnya perilaku menyimpang. Pada konteks ini, Rektor Unila Prof. Dr. Karomani, Wakil Rektor 1 Bidang Akademik Unila Heryandi, dan Ketua Senat Unila Muhammad Basri ditangkap oleh KPK sebagai konsekuensi logis dari tidak liniernya tujuan objektif dengan cara yang digunakannya.
Tujuan objektif dan sosiologis dari ketiga akademisi ini adalah mendapatkan uang dengan nominal yang banyak. Tetapi, cara-cara yang digunakan oleh mereka yaitu dengan menerima suap dari pihak lain dalam konteks penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri.
Sebagai seseorang yang bekerja, tentu tidak masalah jika orientasi dari mereka adalah uang –walaupun terkesan pragmatis. Namun yang menjadi anomie, yakni dengan menerima suap sebagai mekanisme, metode, dan tindakan yang tidak tepat dan jelas-jelas salah di mata hukum untuk mendapatkan uang. Sungguh anomali, di mana mereka sebagai akademisi yang paham tentang suatu bidang ilmu malah tidak paham tentang etika dan moral sebagai manusia. Bahkan, hal ini juga mereduksi prinsip pendidikan yaitu jujur dan objektif.
Jujur dan objektif adalah salah satu prinsip pendidikan dari empat lainnya (taat azas, keteladanan, sadar-serius, dan kasih sayang). Apa maknanya? Jadi jujur dan objektif merujuk pada implementasi dari proses pendidikan yang harus berpegang teguh kepada hal-hal yang transparan, akuntabel, rasional, dan objektif.
Jika dari proses awal penerimaan mahasiswa baru sudah ternodai oleh praktik KKN, bagaimana proses pendidikan selanjutnya di ruang kampus? Bagaimana proses penilaian mahasiswa di kampus? Bagaimana proses pembuatan artikel ilmiah dan jurnal-jurnal bereputasi di kampus? Apakah semua bersih dari KKN?
Anomie yang terjadi di institusi pendidikan merupakan wajah dan cerminan bahwa di lembaga yang citranya bersih, putih, dan jauh dari hiruk pikuk penyimpangan ternyata juga sama saja dengan lembaga-lembaga lain di spektrum yang berbeda. Akademisi yang berilmu dan mengajar mata kuliah dasar,seperti Pancasila, Etika Sosial dan Politik, Filsafat Ilmu, Agama, dan Kewarganegaraan malah terjerembab dalam jurang anomie yang menawarkan hal-hal instan dan menawan, namun bergesekan antara nilai dan norma.
Oleh karena itu, para akademisi harus berkontemplasi dan berefleksi diri secara konstan untuk mempertanyakan tindakan-tindakan anomie yang terjadi di institusi perguruan tinggi. Akademisi adalah orang-orang terpilih yang berkompeten untuk mengajarkan berbagai ilmu kepada mahasiswanya. Akademisi merupakan representasi dan contoh bagi mahasiswa. Panutan untuk ditiru setiap pemikiran, tindakan, dan rasionalitasnya bagi mahasiswa dan bahkan masyarakat.
Ide-ide cemerlang dan konseptual dari akademisi harus terus dibangun dengan landasan yang bersih dan jauh dari kontaminasi praktik KKN. Jangan sampai para akademisi terlena dan akhirnya hanyut dalam pusaran kotor dan menyimpang ini. Sehingga pada satu titik, para akademisi akhirnya sadar jika menormalisasikan pendidikan transaksional di segi birokrasi maupun teknis adalah salah dan wajib untuk dipotong hingga akar permasalahan utamanya.
Problematika Serius
Pendidikan transaksional merupakan problematika yang serius dan keniscayaan sosial yang ada di tengah-tengah kita. Orientasi kultural masyarakat sudah masuk ke dalam tingkatan menormalisasikan adanya transaksi-transaksi ilegal di lingkungan pendidikan. Ini tidak hanya terjadi di perguruan tinggi, tetapi sudah menjangkiti berbagi strata pendidikan di Indonesia.
Ketika ada batu ganjalan yang menghambat aksesibilitas dari suatu individu di dunia pendidikan, maka melakukan transaksi-transaksi ilegal menjadi legal. Menormalisasikan pendidikan transaksional adalah salah dan tidak dapat dibenarkan dari segi apapun. Apa yang terjadi dalam kasus di Unila membuka jendela informasi yang faktual bahwa transaksi ilegal di dunia pendidikan sudah terjadi dengan nominal uang yang tidak sedikit.
Oknum akademisi tergiur dengan bau-bau harum dari nominal uang ratusan juta hingga miliaran rupiah yang ditawarkan oleh pihak eksternal yang ingin memasukkan anaknya, kerabatnya, dan sanak saudaranya ke sekolah impian. Di lain sisi, masyarakat juga harus merubah paradigma dan pola pikirnya mengenai pendidikan transaksional. Sejujurnya, fenomena yang terjadi di Unila sudah sering terjadi di stratifikasi pendidikan lainnya dan hal ini diafirmasi oleh warganet di media sosial.
Masyarakat memiliki konstruksi sosial yang salah mengenai pendidikan transaksional. Di mana melakukan pembayaran ilegal kepada oknum di suatu institusi pendidikan adalah hal yang wajar dan dapat menjadi jalan pintas untuk masuk ke sekolah favorit di level pendidikan apapun.
Pendidikan transaksional adalah implikasi yang koheren dari praktik-praktik KKN di Indonesia yang sudah tertanam di hingga akar rumput masyarakat. Harus ada pembenahan yang serius di lingkungan pendidikan untuk menutup segala akses dari lahirnya transaksi-transaksi ilegal dan suap. Pendidikan yang berkualitas diciptakan oleh stakeholder pendidikan yang berkualitas pula. Dan, pendidikan yang baik dan dilandasi dengan kejujuran akan melahirkan sumber daya manusia yang berintegritas.
Sumber: detik

